Saat itu
aku duduk sendirian, mendengarkan lagu seperti biasa. Kemudian, seorang ibu
dari jauh kulihat perlahan mendekat ke arahku. Ialah ibu penjual risoles, tahu
serta camilan lainnya yang selalu dibicarakan oleh orang-orang. Seorang ibu
yang ketika menawarkan dagangannya akan mengatakan “Cantik, mau beli
jajanannya?” setiap kali melewati mahasiswi-mahasiswi yang lewat.
“Cantik, sendirian aja?” tanyanya menghampiriku yang waktu
itu duduk di gazebo kampus.
Akupun menoleh melepas headsetku lalu menjawab, “Iya nih bu. Lagi pengen ngeliatin
pohon-pohon aja disini.” Kataku berkata jujur. Karna memang kelas telah
berakhir dan entah mengapa aku malas pergi dengan teman-temanku ke café pada waktu itu.
“Ibu sering melihat kamu loh cantik, tertawa terus,
tersenyum terus, menghibur teman-temanmu terus. Kalo kamu sendirian disini,
sepertinya ada yang sedang kamu pikirkan.” Ibu-ibu tersebut mulai berhipotesis
tanpa kuminta. Wah, kupikir ibu ini jago sekali membaca perasaanku.
Sampai saat
itu, aku masih menunggu ia menawarkan barang dagangannya padaku, namun ia malah
terus berbicara walau aku hanya diam saja.
“Ibu ngerti kemarin kamu tanding futsal, dan tim kamu kalah,
ibu liat kamu nangis. Tapi kamu nangis sendirian di deket kamar mandi kopma. Ingat
nggak?” tanya padaku.
Aku kaget,
serius aku kaget sekali. Bayangkan saja saat itu pertandingannya tidak
diselenggarakan di kampus, dan aku memilih untuk pergi kesana karna tidak ingin
melihat teman-temanku makin merasa sedih. Karna pertandingan tersebut adalah
pertandingan terakhirku mengingat aku akan menjadi mahasiswi akhir semester
berikutnya, walau sampai akhir timku tak pernah membawa juara setiap aku berada
dalam tim. Aku merasa sedih, merasa tidak bisa menjadi kakak yang baik bagi
adik-adik tingkatku.
Akupun mengangguk, lalu tersenyum malu.
“Dan waktu itu kalau ibu ga salah lihat kamu juga sendirian,
seperti saat ini. Betul ga?” tanyanya berulang kali yang membuatku makin
terpana.
Aku mengangguk
lagi, ibu itupun diam sambil duduk di sebalahku walau tidak terlalu dekat. “Aku
emang gini, Bu. Bukannya ga punya temen atau aku ga mau cerita ke mereka. cuma
aku terbiasa menanggung semua yang kupikirkan sendirian.” Kataku mencoba
menjelaskan.
Ibu itu tersenyum, sungguh senyuman keibuan yang kulihat,
bukan senyuman menghakimi namun senyuman yang mencoba untuk mengerti. “Anak
baik.” Katanya tiba-tiba.
Aku bingung, lalu kemudian menggeleng. “Wah, ibu ga tau aja.
Aku itu manusia paling keras kepala dan paling ngerasa ga berharga banget di
dunia ini. Aku selalu nethink tau bu.
Jauh dari apa yang ibu pikirkan barusan.” Kataku berkilah, gatau aja dia kegoblokan yang sering kulakukan setiap
saat. Sampai dulu pernah kupikir aku tak layak untuk menempuh pendidikan
disini.
Ibu itupun melanjutkan, “kalo dari pandangan ibu ya, manusia
berpikiran negatif juga penting untuk tahu kemungkinan-kemungkinan terburuk
yang mereka hadapi. Kalo positif terus, kamu ga akan pernah mempersiapkan mental
ketika gagal. Ibu malah liat kamu selalu ngehibur orang-orang sekitar lho, buat
mereka tertawa adalah suatu hal ajaib yang mau manusia lakukan untuk orang
lain. Ibu yakin temen-temenmu pasti bersyukur pernah mengenalmu.” Aku menahan
tangis, betapa baiknya hati ibu ini, Tuhan berikan umur panjang kepada Ibu ini,
berkati keluarga ibu ini..
“Hidup ga selalu bahagia, di sinetron atau film pun begitu. Pasti
ada cobaan, kegagalan, kesedihan yang dirasakan pemeran utama. Di film aja begitu,
apalagi di kehidupan nyata? Ga ada salahnya merenung, intropeksi diri seperti
yang kamu lakukan saat ini. Tapi ada saatnya kamu juga harus cerita ke orang
lain, atau minimal ke Allah, ke Tuhan yang udah nyiptain kita.” Akupun menangis,
mengeluarkan air mata yang sudah menetes di pelupuk mataku. Makasih Tuhan…
makasih untuk setiap hal kecil yang Tuhan selalu ingatkan dalam hidupku. Terima
kasih Tuhan.
Kemudian akupun memborong semua dagangannya dan memberikan
ke setiap orang-orang yang kutemui di kampus.
Mantul.